Mata Pelajaran PMP Dihidupkan Kembali? Apa Kata Dewan Sintang?
WARTABORNEO.COM - Pelajaran PMP atau Pendidikan Moral Pancasila merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sejak tahun 1975. PMP ketika itu menggantikan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang telah masuk dalam kurikulum sekolah di Indonesia sejak tahun 1968.
PMP berisi materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau dikenal juga dengan sebutan P4.
Namun, mata pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan pada masa Reformasi PPKn diubah menjadi PKn dengan menghilangkan kata Pancasila yang dianggap sebagai produk Orde Baru.
Untuk itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengusulkan akan kembali memasukan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila sejak dini di lingkungan sekolah.
Lalu apakah komentar Dewan Sintang ketika mendengar wacara ini?
Anggota DPRD Sintang Tuah Mangasih, saat ditanyakan hal tersebut menyambut baik jika wacana dihidupkannya kembali pelajaran moral pancasila di sekolah dan perguruan tinggi.
"Saya sangat mendukung itu, hanya saja metodenya harus disesuaikan dengan keadaan sekaran dan sudah seharusnyalah ideologi kebangsaan ini tidak diperdebatkan lagi karena para pendiri bangsa sudah sepakat dengan hal tersebut. Jadi sudah seharusnya Pancasila sebagai ideologi bangsa ini harus mendapat tempat," ujarnya, Senin (3/6/2019)
Tuah Mangasih menambahkan, tidak dapat dibendung, di alam demokrasi saat ini seluruh nilai berhak mendapat tempat. Apapun sepanjang pada tataran pemikiran, tidak lagi dianggap sebagai ancaman. Kebebasan berpikir dilindungi. Individualisme dihargai.
"Tapi sangat disayangkan, disitu pula, radikalisme berhasil mendapat momentum. Di balik kebebasan individu, radikalisme mendapat tempat bersembunyi. Di balik penjaminan hak berserikat dan berkumpul, suara radikal bisa sedemikian nyaring. Sentimen ketidakpuasan publik dieksploitasi, agar sekelompok masyarakat mau bertindak. Sentimen agama dimanfaatkan, agar sekelompok masyarakat mau bergerak. Tindakannya menolak sistem yang berlaku. Gerakannya menghendaki perubahan bentuk negara. Caranya, segala cara jadi boleh. Ciri khasnya, menolak toleransi. Menolak kerja sama dengan penganut agama lain, bahkan dengan saudara seagama yang berbeda pandangan," kata Politisi PDI Perjuangan ini.
Jadi wacana ini patut dipertimbangkan guna menangkal paham radikalisme di kalangan pelajar sebagai generasi penerus bangsa ini. (*)
PMP berisi materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau dikenal juga dengan sebutan P4.
Namun, mata pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan pada masa Reformasi PPKn diubah menjadi PKn dengan menghilangkan kata Pancasila yang dianggap sebagai produk Orde Baru.
Untuk itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengusulkan akan kembali memasukan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila sejak dini di lingkungan sekolah.
Lalu apakah komentar Dewan Sintang ketika mendengar wacara ini?
Anggota DPRD Sintang Tuah Mangasih, saat ditanyakan hal tersebut menyambut baik jika wacana dihidupkannya kembali pelajaran moral pancasila di sekolah dan perguruan tinggi.
"Saya sangat mendukung itu, hanya saja metodenya harus disesuaikan dengan keadaan sekaran dan sudah seharusnyalah ideologi kebangsaan ini tidak diperdebatkan lagi karena para pendiri bangsa sudah sepakat dengan hal tersebut. Jadi sudah seharusnya Pancasila sebagai ideologi bangsa ini harus mendapat tempat," ujarnya, Senin (3/6/2019)
Tuah Mangasih menambahkan, tidak dapat dibendung, di alam demokrasi saat ini seluruh nilai berhak mendapat tempat. Apapun sepanjang pada tataran pemikiran, tidak lagi dianggap sebagai ancaman. Kebebasan berpikir dilindungi. Individualisme dihargai.
"Tapi sangat disayangkan, disitu pula, radikalisme berhasil mendapat momentum. Di balik kebebasan individu, radikalisme mendapat tempat bersembunyi. Di balik penjaminan hak berserikat dan berkumpul, suara radikal bisa sedemikian nyaring. Sentimen ketidakpuasan publik dieksploitasi, agar sekelompok masyarakat mau bertindak. Sentimen agama dimanfaatkan, agar sekelompok masyarakat mau bergerak. Tindakannya menolak sistem yang berlaku. Gerakannya menghendaki perubahan bentuk negara. Caranya, segala cara jadi boleh. Ciri khasnya, menolak toleransi. Menolak kerja sama dengan penganut agama lain, bahkan dengan saudara seagama yang berbeda pandangan," kata Politisi PDI Perjuangan ini.
Jadi wacana ini patut dipertimbangkan guna menangkal paham radikalisme di kalangan pelajar sebagai generasi penerus bangsa ini. (*)