Menurut Jeffray SILPA APBD Sintang Tinggi Dapat Dimaknai Dua Hal
WARTABORNEO.COM - SILPA adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan, yaitu selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi.
Misalnya dalam APBD terdapat defisit anggaran sebesar Rp 100 Miliar, ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp 100 Miliar, maka SILPA-nya adalah Rp0, namun jika terdapat defisit anggaran sebesar Rp 100 Miliar dan ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp 120 Miliar (SILPA Positif), yang berarti bahwa secara anggaran masih terdapat dana dari penerimaan pembiayaan Rp 20 Miliar yang belum dimanfaatkan untuk membiayan Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. SILPA Positif ini perlu dialokasikan untuk menunjang program-program pembangunan di daerah.
Ironisnya di tengah kian gencarnya pemerintah agresif membangun infrastruktur, bahkan harus berutang agar proyek infrastruktur itu dapat terbiayai, ternyata masih ada SILPA yang cukup besar. Ini mencerminkan kelemahan manajemen keuangan pemerintah pusat akibat rendahnya koordinasi dengan pemerintah daerah.
Ini tercermin dalam postur APBD Sintang TA 2018 dimana terdapat SILPA di APBD Sintang TA 2018 senilai Rp 245,7 miliar.Menurut Ketua DPRD Sintang, ini mengindikasikan belum optimalnya pemanfaatan dana APBD oleh Pemkab Sintang dalam penyediaan layanan publik dan pembangunan ekonomi di daerah.
"Penyebabnya karena perencanaan yang buruk ditambah penyerapan anggaran yang rendah. Selain itu, program yang direncanakan kurang inovatif," ujarJeffray Edward, usai memimpin rapat paripurna DPRD, Rabu (12/6/2019).
Menurut Jeffray, SILPA yang tinggi tersebut dapat dimaknai dua hal, pertama bahwa daya serap pelaksanaan APBD kurang maksimal atau lebih sering kita kenal dengan kinerja birokrasi kurang maksimal. Kedua, perencanaan APBD disusun dengan estimasi yang kurang matang, sehingga antara target pendapatan dan belanja tidak balance.
"Dalam pandangan masyarakat awam, tingginya SILPA bisa menimbulkan tafsir yang jauh lebih buruk, yaitu pemerintah telah gagal mengalokasikan kemampuan sumber keuangannya untuk mendukung belanja pada sektor pelayanan publik, mengingat pada saat penyusunan APBD terdapat ribuan program yang tidak dapat didanai, baik itu melalui mekanisme perencanaan regular (musrenbang), maupun perencanaan yang bersifat aspiratif," ujarnya.
Menurutnya SILPA yang tinggi akan merugikan pemerintah dan menyulitkan dalam penyusunan APBD perubahan. Selain itu juga merugikan masyarakat karenaberefek langsung ke aspek pelayanan yang membutuhkan anggaran dari pemerintah daerah. Untuk itu dirinya berharap, kedepan, bagaimana agar SILPA ini berada pada jumlah, dan posisi yang ideal. (*)
Misalnya dalam APBD terdapat defisit anggaran sebesar Rp 100 Miliar, ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp 100 Miliar, maka SILPA-nya adalah Rp0, namun jika terdapat defisit anggaran sebesar Rp 100 Miliar dan ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp 120 Miliar (SILPA Positif), yang berarti bahwa secara anggaran masih terdapat dana dari penerimaan pembiayaan Rp 20 Miliar yang belum dimanfaatkan untuk membiayan Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. SILPA Positif ini perlu dialokasikan untuk menunjang program-program pembangunan di daerah.
Ironisnya di tengah kian gencarnya pemerintah agresif membangun infrastruktur, bahkan harus berutang agar proyek infrastruktur itu dapat terbiayai, ternyata masih ada SILPA yang cukup besar. Ini mencerminkan kelemahan manajemen keuangan pemerintah pusat akibat rendahnya koordinasi dengan pemerintah daerah.
Ini tercermin dalam postur APBD Sintang TA 2018 dimana terdapat SILPA di APBD Sintang TA 2018 senilai Rp 245,7 miliar.Menurut Ketua DPRD Sintang, ini mengindikasikan belum optimalnya pemanfaatan dana APBD oleh Pemkab Sintang dalam penyediaan layanan publik dan pembangunan ekonomi di daerah.
"Penyebabnya karena perencanaan yang buruk ditambah penyerapan anggaran yang rendah. Selain itu, program yang direncanakan kurang inovatif," ujarJeffray Edward, usai memimpin rapat paripurna DPRD, Rabu (12/6/2019).
Menurut Jeffray, SILPA yang tinggi tersebut dapat dimaknai dua hal, pertama bahwa daya serap pelaksanaan APBD kurang maksimal atau lebih sering kita kenal dengan kinerja birokrasi kurang maksimal. Kedua, perencanaan APBD disusun dengan estimasi yang kurang matang, sehingga antara target pendapatan dan belanja tidak balance.
"Dalam pandangan masyarakat awam, tingginya SILPA bisa menimbulkan tafsir yang jauh lebih buruk, yaitu pemerintah telah gagal mengalokasikan kemampuan sumber keuangannya untuk mendukung belanja pada sektor pelayanan publik, mengingat pada saat penyusunan APBD terdapat ribuan program yang tidak dapat didanai, baik itu melalui mekanisme perencanaan regular (musrenbang), maupun perencanaan yang bersifat aspiratif," ujarnya.
Menurutnya SILPA yang tinggi akan merugikan pemerintah dan menyulitkan dalam penyusunan APBD perubahan. Selain itu juga merugikan masyarakat karenaberefek langsung ke aspek pelayanan yang membutuhkan anggaran dari pemerintah daerah. Untuk itu dirinya berharap, kedepan, bagaimana agar SILPA ini berada pada jumlah, dan posisi yang ideal. (*)